Jumat, 06 Mei 2011

Sekolah itu cuma bisa ngabisin duit!

Awalnya pemikiran kayak gitu kupikir cuman ada di jaman mamaku masih bayi. Atau cuma ada di film-film. Seperti filmnya Om Deddy yang judulnya Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Tonton aja deh. Ga nyesel kok. Filmnya nyindir banget. Kok jadi ngomongin film ya...? :hammer (*kok jadi kebawa emot kaskus ya...?)

Ternyata ada di dunia nyata masa kini, saudara-saudara.... Kejadiannya dua hari yang lalu di kantin sebuah institusi milik pemerintah (*halah bilang aja BPS susah amat sih?!) ketika aku sedang menunggu dua orang temanku yang masih bimbingan skripsi. Sementara itu aku sendiri sudah selesai menemui subject matter untuk mengajukan rancangan user interface. (*Kalo inget skripsi pengen nangis rasanya kalo bayangin coding T_T)

Saat itu hujan, ga deras, tapi awet. Aku duduk di salah satu bangku di tengah-tengah menghadap ke arah jalan masuk. Aku memesan mie ayam pada abang di warung sebelahku. (*kelamaan woy!)

Jadi waktu itu aku sedang mengaduk-aduk mie ayamku. Enaknya hujan-hujan makan mie ayam panas-panas gini. Sebelum suapan pertama aku yang multitasking ini (alias cepat teralihkan fokusnya) "terpaksa" menguping ibu-ibu lagi curhat di warung yang ada di sebelahku yang satunya.

Ibu-ibu yang satu bilang gini, pake bahasa jawa tapi artinya kira-kira gini,
"Eh, si itu punya anak lagi ya."
Ibu yang satunya, yaitu tokoh utama cerita kita, jawab gini,
"Jadi anaknya sekarang ada lima dong...!" Tinggi gitu deh nadanya.
Trus ibu tokoh utama ngomong lagi,
"Heh, anak dua aja sudah banyak biaya apalagi anak lima."
Ibu yang temennya itu diem aja. Si ibu tokoh utama jadi curhat.
"Nyekolahinnya tuh yang ngabisin duit, bukannya malah dapet duit. Anakku yang berdua tuh, sekolah aja kerjaannya, ngabis-ngabisin duit doang. Ngapain sih sekolah tinggi-tinggi segala, mendingan kerja, enak, bisa dapat duit. Sekolah bisa cari kerja bagus, terus dapat duit... Bulsh*t!"

Hening....
Mie ayamku ga ketelen. 

"Kayak aku nih, ga usah sekolah tinggi-tinggi udah pinter tuh nyari duit. Gak kayak anakku itu."
Ibu yang satunya tanya, "Lulusan apa, Bu? SMA?"
"SMA? Ngapain?! Aku cuma sekolah SD. Itupun kayaknya ga tamat. Tapi aku udah bisa tuh cari duit."
Aku lirik ke samping, ternyata ibu itu jualan es jus.

Pikiranku antara pengen marah, pengen nangis, pengen ketawa, pengen neriakin ibu-ibu itu. Tau' lah! Setelah agak tenang, pikiran pertama yang terlintas di benakku, 
"Bu, kasian anaknya diomongin gitu...."
Pikiran kedua,
"Mamaku bakalan ngomong gitu ga ya di belakangku? Apakah selama kuliah ini mamaku ngerasa berat ngasih uang jajan ke aku?" 
Karena selama ini aku bisanya cuman minta uang jajan. Ga ada penghasilan. Memang sih kuliahku gratis, dikasih uang saku (tunjangan ikatan dinas) pula yang lumayan gede lah. Tapi aku masih minta-minta ke ortuku. Minta karena delapan ratus ribu itu tidak cukup banyak untuk biaya hidupku sehari-sehari selama sebulan. Minta karena seringkali duit ID itu datangnya ga menentu waktunya, seringnya rapelan. Dan minta karena aku percaya ortuku ga akan tega ga menanggung hidup anak pertama perempuan satu-satunya.

Lalu kupakai untuk apa duit-duit itu? Untuk bersenang-senang. Ya. Bersenang-senang. Makan enak, jajan, beli pulsa, beli buku, bayar les, jalan-jalan, belanja. Mungkin aku masih tau batas sih tapi kadang aku merasa itu gak layak. Apalagi jika dilihat apa yang aku lakukan untuk kuliahku. Apa yang aku lakukan pada amanah terhadap duit-duit yang aku terima itu.

Sampai ke rumah pun aku masih kepikiran. Aaaaarrrggghh! Daripada kepikiran terus mending aku konfirmasi ke mamaku. Bukan untuk meminta jawaban sih, tapi untuk melihat mendengar reaksi mamaku. Aku menelepon mamaku sore harinya.
Kalimat awal yang terucap, "Gimana skripsinya, Lin?"
Pengen nangis rasanya, pengen teriak, "Bisa ga sih, Ma, jangan nanya-nanya skripsi terus?!" Tapi ga boleh tho teriak-teriak gitu ke ortu :P
"Tadi pagi ke BPS buat ngasih lihat rancangan tampilan aplikasi yang aku buat."
Mesti hati-hati kalo ngomongin komputer ke ortuku.
"Sudah berapa persen skripsinya, Lin?"

Dan bla...bla...bla.... sampai aku bilang,
"Ma, tadi pas di kantin BPS aku denger ibu-ibu lagi curhat gini,"
Terus kuceritain kejadian pagi itu. Aku pening membayangkan kemungkinan-kemungkinan reaksi mamaku. Dan ternyata reaksinya adalah...,
"Wuahahahahaaaa... Hahahaaaa..."
"Kok malah ketawa?" tanyaku.
Mamaku balik tanya, "Emang ibu itu lulusan apa?"
"SD katanya."
"Kerjanya?"
"Jualan es jus."
"Ya iya lah... Kalo ibu itu berpendidikan tinggi sih ga bakalan jualan es jus di situ. Hahahaaa...."
Kaget aku reaksi mamaku kayak gitu. Seneng juga ternyata dugaanku salah.

Mamaku bilang gini lagi,
"Jangan-jangan anaknya tu menengah ke bawah otaknya. Kalo menengah ke atas sih pastinya tu anak dah ga bayar sekolah atau kuliah, kayak kamu."
Hedeh!
"Tapi anaknya juga sih Ma menurutku yang ga pengertian. Seharusnya mereka kan bisa sambil kerja."
"Tapi ngebiayain sekolah anak kan tetap tanggung jawab orang tuanya. Kalau anaknya sarjana, jadi pegawai, duitnya banyak, kan orang tuanya juga yang dapat untungnya. Ibu-ibu penjual es jus itu mikirnya ga sampai ke situ sih...."
"Iya sih, Ma..."

Dasar mamaku, ada-ada aja. Emang gitu orangnya. Padahal lulusan SMEA juga. Tapi lulusan terbaik. Ga bisa kuliah karena orang tuanya bilang kuliah itu cuma ngabisin duit. Sekarang kerja part time di sebuah koperasi dan pergaulannya dengan ibu-ibu Dharma Wanita dan beberapa ibu pejabat yang umumnya pernah kuliah. Karena itu mamaku bertekad aku harus kuliah dan dapat kerja yang layak, agar nanti bisa buktikan ke orang tuanya bahwa pendidikan itu penting, sekolah/kuliah itu tak hanya bisa menghabiskan duit, tapi bisa meningkatkan taraf hidup keluarga.

Ya. Pendidikan itu penting.

1 komentar:

  1. ehm,, orang berilmu akan dinaikkan derajat nya.. *gitu klo g salah :D kekeke

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...